PENGGUNAAN NANOKITOSAN TERMODIFIKASI ION GARAM NaCl SEBAGAI PENGAWET KAYU SENGON
(Falcataria moluccana)

Annisa Primaningtyas, Tomy Listyanto, Ganis Lukmandaru, Bima Mahardika Weasa

ABSTRAK

Kitosan adalah bahan pengawet dari alam yang bersifat ramah lingkungan. Pada penelitian ini, kitosan dimodifikasi menjadi bentuk partikel berukuran nanometer (nanokitosan) dan penambahan NaCl untuk memperkecil ukuran agar partikel dapat lebih mudah menembus kayu sehingga dapat meningkatkan keefektifannya. Faktor yang berpengaruh dalam dispersi nanokitosan salah satunya adalah konsentrasi kitosan yang digunakan dan lama waktu penyimpanan dispersi nanokitosan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor konsentrasi kitosan dan faktor waktu simpan dispersi nanokitosan terhadap parameter pengawetan kayu yaitu absorpsi, retensi, dan penetrasi bahan pengawet serta mortalitas rayap, pengurangan berat, ukuran partikel. Pada penelitian ini dilakukan pula analisis SEM dan distribusi ukuran partikel menggunakan particle size analyser sebagai data pendukung. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari faktor konsentrasi dan lama penyimpanan yang berpengaruh signifikan. Hasil menunjukkan bahwa pengawetan kayu sengon dengan nanokitosan mendapatkan hasil terbaik pada konsentrasi 0,4% yang menghasilkan ukuran nanokitosan sebesar 800,2 – 970,6 nm.

Kata Kunci : Pengawetan, sengon, nanokitosan, ukuran

PENINGKATAN STABILITAS DIMENSI DAN KERAPATAN KAYU JABON MELALUI PROSES IMPREGNASI DENGAN BAHAN IMPREGNAN ASAL LIMBAH KAYU

Efrida Basri & Jamal Balfas

Pusat Litbang Hasil Hutan. Jl. Gunung Batu, Ciomas. Bogor
*E-mail : : denvig@yahoo.com; jamalbs2000@yahoo.com

ABSTRAK

Produksi kayu gergajian menghasilkan limbah kayu berbentuk serbuk, sebetan, dan kulit kayu yang berpotensi sebagai bahan impregnan untuk meningkatkan kualitas kayu dan bahan finishing alternatif karena kandungan senyawa aktif di dalamnya. Di sisi lain, modifikasi kayu-kayu muda asal hutan tanaman, seperti jabon, perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitasnya, terutama stabilitas dimensi pada saat pemakaian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi karakteristik destilat dari limbah kayu sebagai bahan impregnan serta pengaruhnya dalam meningkatkan stabilitas dimensi dan kerapatan kayu jabon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kestabilan dimensi dan kerapatan kayu jabon tertinggi diperoleh pada formula campuran destilat dengan kolagen hewan pada konsentrasi 8%. Penambahan kolagen hewan dalam destilat asal limbah kayu sengon mengubah karakter destilat tersebut terutama komponen kimianya.

Kata Kunci: Limbah kayu gergajian, formula impregnan, stabilitas dimensi, kerapatan kayu, kayu jabon

PENYUSUNAN SKEDUL PENGERINGAN BATANG KELAPA (Cocos nucifera L.)

Tomy Listyanto*, Adirhesa Hermawan*, Ayuning Sukmawati* dan Hanan Purana Putra*

*Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah mada, Jl. Agro no 1, bulaksumur Yogyakarta
e-mail : tomy.listyanto@gadjahmada.edu

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan letak aksial, ukuran sortimen, dan berat jenis, terhadap penyusunan skedul pengeringan batang kelapa serta karakteristik pengeringan hasil aplikasi skedul pengeringan terpilih. Penelitian ini menggunakan sampel batang kelapa yang memperhatikan dua faktor antara lain letak aksial batang (pangkal, tengah, dan ujung) dan berbagai ukuran sortimen dengan 4 ulangan pada masing-masing faktor perlakuan. Skedul pengeringan disusun mengacu pada metode Terazawa yang telah dimodifikasi. Parameter yang diamati antara lain kadar air awal, cacat retak, kolaps, dan honeycombing untuk menyusun skedul pengeringan. Parameter lain yang diamati antara lain berat jenis, perubahan dimensi, dan cacat perubahan bentuk (warping). Hubungan antara factor dengan skedul terpilih dilakukan dengan analisis chisquare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa letak akasial berhubungan signifikan terhadap penyusunan skedul pengeringan. Bagian pangkal dan tengah batang dapat dikeringkan dengan suhu awal 47°C, depresiasi suhu bola basah 2°C, dan suhu akhir 80°C, sedangkan bagian ujung batang dapat dikeringkan menggunakan skedul dengan suhu awal 50°C, depresiasi suhu bola basah 2°C, dan suhu akhir 81°C.

Kata kunci : batang kelapa, letak aksial, ukuran sortimen, skedul pengeringan

COLOR CHANGE OF MANGIUM (Acacia mangium) AND SENGON (Falcataria moluccana) SMOKED WOODS

YS Hadi ¹, MY Massijaya ¹, G Pari ², IB Abdillah ¹

¹ Bogor Agricultural University, Bogor 16680, Indonesia
² Forest Products Research and Development Centre, Bogor 16610, Indonesia

ABSTRAK

Timber production is mostly from planation forest which cut at young age 6-10 years old, and the timber is dominated by sapwood and juvenile wood. The timber had inferior quality in terms of physical-mechanical properties and resistance to termite attack. Smoking treatment can enhance wood resistance to termite attack, but it also changes the color. Specimens of mangium (Acacia mangium) and sengon (Falcataria moluccana) wood were exposed for 1, 2, and 3 weeks to smoke produced from the pyrolysis of salam (Syzygium polyanthum) wood. The color change of the wood was measured using the CIELab method. Untreated and imidacloprid-preserved wood samples were also prepared for comparison purposes. The results showed that the color of smoked wood differed from that of untreated wood, and the color change for sengon was greater than for mangium. In addition, the 1-week smoking period changed the wood color less than the 2- and 3-week periods, and the both periods did not differ. Imidacloprid-preserved wood had distinctive color changes compared to untreated wood.

Kata kunci: Smoked wood, wood color change, wood preservation, juvenile wood

PRODUKTIVITAS PENJARANGAN JATI PLUS PERHUTANI (JPP)

Dian Rodiana, Aulia Hasanusi, Zacheus Yunianto, Utomo, Ganang Winduro

Puslitbang Perum Perhutani

ABSTRAK

Jati Plus Perhutani (JPP) merupakan nama jati unggul produk Perhutani yang diperoleh melalui program pemuliaan pohon, yang dapat dikembangkan melalui dua cara pembiakan yaitu secara vegetatif (setek pucuk atau kultur jaringan) dan generatif (semai dari benih asal kebun benih klonal). Penjarangan tegakan selain sebagai tindakan silvikultur, dapat memberikan pemasukan secara ekonomi sebagai hasil antara (intermediate yield) disela-sela panen akhir tegakan. Tanaman JPP Setek Pucuk di seluruh wilayah Perum Perhutani yang ditanam mulai tahun 2008-2011 telah mencapai keluasan ± 50.000 ha. Penelitian ini dilakukan pada pertanaman perhutanan klon umur 9 sampai dengan 14 tahun di 2 KPH Perum Perhutani yaitu KPH Ngawi dan Nganjuk. Parameter yang diamati adalah pengukuran tinggi dan keliling pohon hasil penjarangan dan tegakan tinggal. Hasil pengamatan menunjukan pertumbuhan yang cepat dan seragam dari tanaman JPP perhutanan klon baik pertumbuhan keliling maupun tinggi. Rerata pertumbuhan keliling sebesar 6,3 cm/tahun dan tinggi 2,4 m/tahun. Dengan pemeliharaan yang intensif, perbedaan lokasi tidak banyak mempengaruhi perbedaan pertumbuhan. Produktivitas tanaman JPP dari hasil ujicoba tebangan penjarangan dan pemeliharaan trubusan umur 9, 12 dan 14 tahun di KPH Ngawi sebesar 97,62 m³/ha sampai dengan 191,99 m³/ha. Produktivitas tersebut masih belum ditambah dengan pohon yang ditinggalkan dan pertumbuhan trubusannya sampai dengan saat ini.

Kata kunci: Jati JPP, produktivitas, penjarangan, perhutanan klon, trubusan

EVALUASI TINGKAT KEBERHASILAN REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA PT MAHAKAM SUMBER JAYA

Herdyanto ^*,1, Sri Sarminah1, Marlon I. Aipassa ¹

¹ Laboratorium Tanah-Air dan Iklim, Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Samarinda
^* E-mail : Hedyanto11@gmail.com / dyanherdy77@gmail.com

ABSTRAK

Propolis adalah material lengket berwarna gelap yang dikumpulkan lebah dari tanaman hidup, dicampur dengan lilin dan digunakan dalam konstruksi dan adaptasi sarang mereka. Propolis yang dihasilkan dari masing-masing jenis lebah memiliki karakteristik yang berbeda secara fisik. Tidak menutup kemungkinan karakteristik ini juga berbeda dari komponen kimia yang memengaruhi aktivitas antioksidannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan aktivitas antioksidan pada propolis yang dihasilkan dari lebah jenis Tetragonula itama. Hasil pengujian dengan DPPH, aktivitas antioksidan yang ditunjukkan dari propolis ini sangat tinggi sehingga dapat menjadi acuan untuk penelitian lanjutan atau pengembangan produk lebah ini.

Kata kunci: Revegetasi, reklamasi, lahan pasca tambang, open pit, Kawasan Budidaya Kehutanan

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI PADA HABITAT Macaranga gigantea DI HUTAN PENDIDIKAN FAHUTAN UNMUL (HPFU)

Hidayatul Latifah*, Paulus Matius dan Rita Diana

Laboratorium Ekologi dan Konservasi Biodiversitas Hutan Tropis
Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman Kampus Gunung Kelua, Jl. Penajam, Samarinda 75119
^* E-mail : hidayatullatifah05@gmail.com

ABSTRAK

Jenis Macaranga gigantea (Rchb.F. & Zoll.) Müll.Arg. merupakan salah satu jenis pionir yang mengawali proses suksesi pasca terjadi kebakaran hutan 20 tahun lalu. Jenis ini tumbuh menjadi jenis dominan yang memegang peranan penting dalam ekosistem Hutan Pendidikan Fahutan Unmul (HPFU). Oleh karena itu informasi komposisi dan struktur vegetasi pada habitat M. gigantea merupakan informasi yang penting untuk mengetahui tahapan suksesi yang telah berlangsung dan stabilitas komunitas hutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi pada habitat M. gigantea yang ada di lembah, lereng dan punggung bukit. Metode yang digunakan adalah analisis vegetasi dalam plot pengamatan berbentuk persegi ukuran 20 x 20 m yang tersusun dalam jalur sepanjang 100 m dan diletakkan secara purposive sampling pada habitat penyebaran jenis M. gigantea. Hasil penelitian menunjukkan komposisi vegetasi pada habitat M. gigantea memiliki kerapatan individu dan kekayaan jenis yang rendah. Jenis Fordia splendidissima, Polyalthia microtus dan Psychotria viridiflora merupakan merupakan jenis yang memiliki daya adaptasi yang baik terhadap naungan dari tajuk jenis M. gigantea yang lebar dan rapat. Komposisi vegetasi pada habitat penyebaran jenis M. gigantea yang ada di lereng dan punggung bukit memiliki kesamaan komposisi jenis yang tinggi. Struktur vertikal yang terbentuk adalah kurva J-terbalik yang cenderung landai atau tidak normal. Struktur horizontal yang terbentuk pada setiap individu penyusun cenderung memiliki pola penyebaran yang mengelompok yang letaknya berjauhan dengan pohon M. gigantea atau pada rumpang-rumpang di sekitar pohon. Pada rumpang-rumpang tersebiut vegetasi jenis lainnya bersamaan hadir secara mengelompok untuk berkompetisi mendapatkan cahaya.

Kata kunci: Jenis pionir, Komposisi dan struktur vegetasi, Suksesi

KARAKTERISTIK SUHU DAN KELEMBABAN TANAH PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA DI TAMAN KOTA DAN ARBORETUM UNMUL DI KOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Mawar Dewi Desika Pasaribu ^*,1, Karyati ¹, Sri Sarminah ¹

¹ Laboratorium Tanah-Air dan Iklim, Fakultas Kehutanan
^*e-mail : mawarpasaribu02@gmail.com

ABSTRAK

Taman kota adalah lahan terbuka yang berfungsi sosial dan estetik sebagai sarana kegiatan rekreatif, edukasi atau kegiatan lain pada tingkat kota. Taman kota ditujukan untuk melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani minimal 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota, dengan luas taman minimal 144.000 m2. Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks olah raga dengan minimal RTH 80%-90%. UPT. Arboretum Laboratorium Sumber Daya Hayati Kalimantan (LSHK) banyak terdapat pohon-pohon yang ditanam sejak tahun 1980-an. Adanya arboretum ini akan mempermudah bagi para peneliti, mahasiswa atau pihak-pihak lain yang ingin meneliti atau mengenal jenis-jenis pohon, tanpa harus pergi ketempat tegakan aslinya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik suhu tanah dan kelembaban tanah pada tiga kedalaman berbeda pada tiga lokasi yang berbeda. Untuk mengetahuinya dilakukan pengukuran dengan menggunakan parameter suhu tanah dan kelembaban tanah. Metode analisis yang digunakan adalah pengolahan data primer. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi pengukuran di setiap lokasi pada tiga kali pengamatan dalam sehari yaitu pada pagi hari (06.00-07.00 wita), siang hari (12.00-13.00 wita) dan sore hari (16.00-17.00 wita) selama 30 hari dengan menggunakan Environment meter merk Krisbow KW06-291. Suhu tanah rataan pada kedalaman 5 cm, 10 cm dan 20 cm yang terukur di Taman Samarendah dengan kisaran 27,6-28,8°C, Taman Cerdas 27,3-28,5°C, dan Arboretum berkisar 26,4-28,0°C, sedangkan kelembaban tanah rataan pada kedalaman 5 cm, 10 cm, 20 cm dan 30 cm di Taman Samarendah berkisar 76,5-80,2%, Taman Cerdas 72,1-78,3%, dan Arboretum 75,7-81,7%.

Kata Kunci : Suhu Tanah, Kelembaban Tanah, Kedalaman Berbeda, Taman Kota, Arbore

REKAYASA KARATERISTIK POHON BINTANGUR (Calophyllum pulcherrium) SEBAGAI KAYU ALTERNATIF PEMBUATAN “JALUR” DALAM PELESTARIAN BUDAYA PACU JALUR DENGAN METODE INFUS

Evi Sribudiani ¹, Sonia Somadona ¹, Rudianda Sulaeman ¹, Syafrinal ¹, Sulaeman Yusuf2, Yusup Amin ², Didi Tarmadi ²,
Ajias Pramasari ², Ratih ³, Djarwanto ³

¹ Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Riau
² Pusat Penelitian Biomaterial LIPI
³ Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
E-mail : sribudiani_unri@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pacu Jalur merupakan budaya tradisi masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Jalur dibuat menggunakan pohon berdiameter minimal 100 cm dan tinggi minimal 20 m tanpa sambungan. Selama ini masyarakat menggunakan jenis kayu dari famili Dipterocarpaceae. Kayu dengan spesifikasi tersebut saat ini sudah mulai sulit diperoleh bahkan cenderung langka, sehingga perlu dicari alternatif kayu untuk pembuatan Jalur, salah satunya adalah bintangur. Kayu bintangur memiliki kelas awet II-IV, dengan masa pakai 2-5 tahun sehingga perlu diawetkan. Selama ini belum pernah dilakukan pengawetan pada pohon yang masih hidup. Teknologi yang mungkin digunakan untuk mengawetkan pohon yang masih hidup dengan diameter besar dan panjang adalah menggunakan teknik infus. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa kegiatan pengawetan dapat dilakukan pada pohon yang masih hidup. Pengawetan pohon bintangur menggunakan metode infus dengan konsentrasi larutan pengawet 20% terdiri dari Borax (Na₂B₄O₇) dan Borix (H₃BO₃) dengan perbandingan 3 : 2. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bahan pengawet dapat naik hingga ke ujung pohon. Penyerapan bahan pengawet pada pohon bintangur 32 liter dengan kecepatan penyerapan per hari 0,533 liter. Hasil pengujian juga didapat kandungan boron pada pohon yang sudah diawetkan pada bagian pangkal 6,15 mg/Kg, bagian tengah 2,20 mg/Kg dan bagian ujung 0,80 mg/Kg. Kesimpulan sementara dari penelitian ini adalah metode infus dapat digunakan sebagai alternatif pengawetan pohon.

Kata Kunci : Jalur, Bintangur, Pengawetan, Infus